بسم الله الرحمن الرحيم
Menyikapi Perbedaan Penetapan Awal & Akhir Puasa Ramadhan
Oleh : Tommy Abdillah
(Founder Majelis Ilmu Ulin Nuha)
Tamu agung yang dinanti-nanti oleh kaum muslimin akan kembali hadir. Tamu agung itu adalah bulan suci Ramadhan. Bulan suci Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, bulan ampunan, bulan waktu diturunkannya Al-qur’an & bulan yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan yaitu malam lailatul qadar.
Momentum mulia bulan suci Ramadhan selalu diwarnai oleh perbedaan dalam mengawali & mengakhirinya. Ormas Muhammadiyah sudah lebih dahulu menentukan 1 Ramadan 2024. Ini tertuang dalam Maklumat PP Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2024 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1445 H yang terbit pada Januari 2024 lalu. Berdasarkan maklumat tersebut, Muhammadiyah menetapkan bahwa 1 Ramadan 1445 H jatuh pada Senin, 11 Maret 2024.
Sementara pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar sidang Isbat (penentuan) 1 Ramadhan 1445 H pada hari Ahad tanggal 10 Maret 2024.
Fakta obyektif menunjukkan bahwa secara teknis penentuan awal Ramadhan & Syawal selalu memiliki potensi untuk berbeda, apapun landasan fiqh yang dipilih atau dipakai. Sebenarnya hal apa yang melatar belakangi terjadinya perbedaan dalam mengawali & mengakhiri puasa Ramadhan? Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan penetapan awal dan akhir puasa Ramadhan?.
Latar belakang perbedaan
Hisab dan Rukyah adalah alat yang dibutuhkan bagi setiap mukmin untuk memastikan masuknya awal bulan qamariyah. Penetapan awal bulan qamariyah termasuk bulan ramadhan dengan melihat anak bulan (rukyah al-hilal). Rukyah al-hilal dijadikan sebab pelaksanaan puasa Ramadhan.
Hukum syara’ telah menjelaskan bahwa rukyah al-hilal merupakan sabab dimulai & diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak dapat dirukyah maka puasa dilakukan setelah istikmal (sempurna) bulan Sya’ban. Hal ini didasarkan banyak dalil diantaranya,
Rasulullah SAW bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.”(HR. Bukhari no.1.776
Dalam menentukan kemunculan rukyah al-hilal inilah terjadi perbedaan pendapat apakah menggunakan metode hisab (perhitungan matematis) ataukah dengan metode rukyah al-hilal (pengamatan langsung).
- Metode Hisab
Hisab menurut bahasa berarti hitungan, arithmetic (ilmu hitung), reckoning (perhitungan), calculus (hitung), computation (perhitungan), estimation (penilaian, perhitungan), appraisal (penaksiran). Sementara menurut istilah hisab adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Mengutip pendapat ormas Islam Muhammadiyah, Metode hisab Muhammadiyah berarti rangkaian proses perhitungan yang digunakan untuk menentukan arah suatu tempat dari tempat lain, atau menentukan posisi geometris benda-benda langit untuk kemudian mengetahui waktu saat di mana benda langit menempati posisi tersebut, atau mengetahui apakah suatu siklus waktu sudah mulai atau belum.
Metode hisab Muhammadiyah, sekurang-kurang nya meliputi 4 obyek, yaitu hisab arah kiblat, hisab waktu-waktu shalat, hisab awal bulan qamariah & hisab gerhana matahari & bulan.
(Ref : Pedoman Hisab Muhammadiyah, cetakan kedua Yogyakarta, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009).
Diantara dalil yang dijadikan hujjah metode hisab adalah : QS. Al-Baqarah ayat 185 & QS. Yunus ayat 5.
- Metode Rukyah Al-hilal
Rukyah al-hilal adalah melihat bulan sabit setelah ijtima’ & setelah wujud di atas ufuk. Ijtima’ atau konyungsi adalah saat bulan & matahari memiliki bujur ekliptika yang sama. Ekliptika adalah sistem koordinat langit untuk menggambarkan posisi matahari, bulan & planet-planet dekat. Peristiwa ijtima’ terjadi serentak sekali setiap satu periode bulan mengelilingi bumi (sinodis). Dengan demikian pada saat ijtima’, ada wilayah di muka bumi yang sedang pagi, siang, sore atau malam hari.
Sedangkan hilal hanya bisa dilihat di sore hari, bila tingginya sudah cukup sehingga pada saat matahari terbenam bulan masih di atas ufuk (Barat), sehingga ada bagiannya yang memantulkan cahaya matahari ke bumi, sebelum akhirnya bulan terbenam menyusul matahari. Inilah bulan sabit yang ditunggu-tunggu. Oleh karena itu, meski ijtima’ terjadi serentak, namun peristiwa hilal bisa dirukyat tidaklah serentak, melainkan terikat oleh aspek astronomi (posisi bujur dan lintang pengamat) & aspek geografi (perbedaan zone waktu).
Secara astro-geografi, daerah yang lebih barat (dihitung dari Batas Tanggal Internasional) akan menyaksikan bulan yg lbh tua shg peluang rukyatul hilal pd hari yg sama akan lbh besar.
(Ref : Prof. Dr. Ing Fahmi Amhar, aspek syar’ie & iptek dalam penentuan awal & akhir ramadhan).
Dalam pelaksanaannya, waktu rukyat adalah sangat pendek, yakni kurang dari satu jam setelah matahari terbenam. Maka suatu berita rukyatul hilal yang terjadi sebelum matahari terbenam di tempat tersebut, atau setelah tengah malam, atau bahkan sebelum ijtima’ adalah wajib ditolak.
- Rukyah al-hilal dengan Mathla’
Perbedaan berikutnya adalah mathla’ yaitu tempat lahirnya bulan. Sebagian ulama mazhab Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat rukyah bisa mengikuti hasil rukyah daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan rukyah sendiri & tidak hrs mengikuti hasil rukyah daerah lain. Hal ini didasarkan pada hadist riwayat dari Kuraib :
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya : bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pd malam Jumat.
Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku & menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, Kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab, Kami melihatnya pada malam Jum’at. Dia bertanya lagi, Apakah kamu sendiri melihatnya? Aku jawab lagi, Ya & orang-orang jug melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah. Dia berkata lagi, Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan 30 hari atau hingga kami melihatnya. Aku lalu bertanya, Tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyah & puasa Muawiyyah? Dia menjawab, Tidak,(sebab) demikianlah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami.( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).
Rukyah al-hilal global potensi menyatukan ummat
Abad 21 dikenal dengan kemajuan era teknologi & informasi digital sehingga pendapat yang condong kepada matla memang jadi tidak praktis & kurang populer, sebab satu kabupaten saja bisa terpecah menjadi beberapa matla.
Menurut Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri rahimahullahu (1882-1941) dari 4 madzhab fiqh yang terkenal, tiga di antaranya (Hanafi, Maliki, Hambali) cenderung kepada rukyat global, yaitu bahwa suatu kesaksian rukyat berlaku untuk kaum muslimin di seluruh dunia. Sedang pengikut Imam Syafi’i condong kepada rukyat lokal yang hanya berlaku satu matla, yang kurang lebih radius 24 farsakh (kurang lebih 120 Km).
(Ref :Kitab Fiqh ‘ala al-Mazhahib al-Araba’ah juz 1 halaman 550).
Menurut Imam Asy-syaukani didalam kitab Nailul Authar juz III halaman 125, pendapat kalangan Syafi’i ini berasal dari kerancuan memahami hadits Kuraib, yaitu saat menafsirkan ucapan Ibnu Abbas yang tetap berpuasa sesuai rukyah al-hilal di Madinah & tidak mengikuti hasil penglihatan bulan sabit oleh banyak orang di Damaskus yang satu hari lebih awal, Demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami”. (HR.Jama’ah selain Bukhari & Ibnu Majah).
Dalam mengomentari hadits ini, Imam Asy-syaukani berpendapat bahwa yang layak menjadi hujjah itu adalah riwayat yang marfu’ (yakni ucapan Rasul sendiri) & bukan ijtihad atau pemahaman Ibnu Abbas atas ucapan Rasulullah SAW. Sedangkan ucapan Rasulullah SAW seperti dikutip pada awal tulisan ini, adalah merupakan seruan yang tertuju kepada siapapun di antara kaum muslimin & tidak dikhususkan pada penduduk suatu daerah tertentu.
Penutup
Alangkah indahnya bila setiap tahun seluruh ummat Islam dapat mengawali & mengakhiri puasa Ramadhan secara bersama-sama. Bulan suci Ramadhan dapat dijadikan sebagai momentum untuk mempererat ukhwah Islam dengan menyatukan persepsi dalam hal mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan. Apalagi ketika ummat Islam dapat dipersatukan dalam satu ikatan pemikiran yang sama, perasaan yang sama & aturan hidup yang sama dibawah kepemimpinan Islam yakni seorang Khalifah yang menerapkan Syari’at Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam