Fiqh Ikhtilaf, Menyikapi Pro Dan Kontra Melafadzkan Niat

Niat ikhlas beribadah semata-mata mengharapkan ridha Allah adalah bagian dari rukun ibadah. Tidak sah ibadah seorang hamba tanpa diawali dengan niat dan tidak diterima ibadah tanpa mengikuti dan menteladani (ittiba’) Rasulullah Muhammad SAW.

Al-imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu (w 187 H) tatkala berkata mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), beliau mengatakan, yaitu amalan yang paling ikhlas (akhlashahu) dan paling benar sesuai tuntunan Nabi SAW (ashwabahu)

Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mengikuti ajaran Nabi SAW amalan tsb tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau SAW namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.
(Ref : Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 20, Darul Muayyad, cetakan pertama, 1424 H)

Makna Niat

Niat نِيَّةٌ berasal dari akar kata نوى yang memiliki arti antara lain : العَزْمُ yang artinya : keinginan hati yang kuat.
Al-imam Nawawi rahimahullahu didalam kitab Al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, menjelaskan niat secara bahasa adalah,

قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ اَلنِّيَّةِ اَلْقَصْدُ وَعَزْمُ الْقَلْبُ

Ahli bahasa berkata, niat adalah maksud dan keinginan hati yang kuat.

Secara istilah para ulama menjelaskan bahwa niat adalah :

أما شرعا فهو قصد الشيء مقترنا بفعله ، أى قصد شيءالذى يريد فعله حال كون ذالك القصد مقترنا كال

Apa yang dimaksud dengan niat syariah adalah dengan sengaja melakukan satu hal dengan melakukan sesuatu, yaitu dengan sengaja melakukan sesuatu yang dimaksudkan untuk melakukannya, dan itu sengaja dibuat dengan melakukan sesuatu.
(Ref : Syaikh Zainuddin Al-Malibari,Kitab I’anatuth Thalibin Juz 1 hal 136).

Al-imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu berkata, Ketahuilah sesungguhnya niat menurut arti bahasa adalah satu bentuk dari keinginan. Meskipun ada yg membedakan antara kata iradah, qushd, niyah dan ’azam. Menurut ulama niat mempunyai dua makna.

Pertama : Untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti untuk membedakan shalat dzhuhur dengan shalat Ashar, untuk membedakan antara puasa Ramadhan dengan puasa sunat atau utk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan seperti untuk membedakan antara mandi wajib dengan mandi untuk menyegarkan atau membersihkan badan. Makna niat seperti ini adalah yang paling banyak dijumpai dalam kitab-kitab fiqh.

Kedua : Untuk membedakan tujuan melakukan suatu amalan, apakah tujuannya adalah karena Allah saja atau karena Allah dan juga lain-Nya. Perbuatan yang tidak disertai dengan niat maka perbuatan tersebut tidak diakui oleh hukum syara’ dan tidak ada kaitannya dengan tuntutan (thalab) atau tawaran untuk memilih (takhyir).

Kedudukan Niat Dalam Ibadah

Niat ikhlas beramal karena Allah ta’ala adalah menjadi salah satu syarat sah diterimanya amal ibadah oleh Allah ta’ala.

ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya : Dari Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.(HR. Bukhari dan Muslim).

Diantara perkara yang sering diperdebatkan adalah masalah melafadzkan niat ketika hendak mengerjakan suatu ibadah. Apakah niat cukup didalam hati saja ataukah harus dilafadzkan dengan lisan?. Apakah melafazkan niat itu bid’ah ataukah sunnah?

Sebab Perbedaan Pendapat

Para ulama sering berbeda pendapat atau ikhtilaf dalam masalah-masalah fiqh yang bersifat furu’iyyah atau perkara cabang agama. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab diantaranya : berbeda dalam memahami nash dalil baik dalil Al-qur’an maupun dalil hadist, berbeda dalam menilai derajat keshahihan suatu hadist, berbeda dalam menguasai perbendaharaan hadist, berbeda dalam menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh.

Pro Dan Kontra

Perkara melafadzkan niat terbagi menjadi dua golongan yaitu :

Pendapat pertama : Niat ada didalam hati bukan dilafazkan oleh lisan. Niat adalah amalan hati dan hanya Allah ta’ala yang maha mengetahuinya. Niat itu tempatnya di dalam hati dan bukanlah dilisan, hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haroni dalam Majmu’ Fatawanya.

Setiap ibadah itu bersifat tauqifiyyah, sudah baku. Artinya setiap ibadah yang dilakukan harus ada dalil dari Al-Qur’an dan Hadits termasuk juga dalam masalah niat.

Al-imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad, I/201, ”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya.

Pendapat kedua : Niat beribadah dengan dilafadzkan pendapat yang mengatakan sunnah, agar ucapan lidah dapat membantu memantapkan hati dalam niat ibadah. Pendapat ini diikuti oleh madzhab Hanafi dalam pendapat yang mukhtar, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali sesuai dengan kaedah madzhab.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48, al-Imam al-Khathib Al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 57, dan al-Imam al-Buhuti Al-Hanbali dalam Kasysyaf Al-Qina’ juz 1 hal. 87.

Dalil yang dijadikan dasar para ulama yang menganjurkan melafalkan niat dalam ibadah adalah hadits sbb :

عن أَنَسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَيَقُوْلُ لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Artinya : Anas bin Malik r.a berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata (ketika akan menunaikan ibadah haji dan umrah) : Aku penuhi panggilan-Mu, untuk menunaikan ibadah umrah dan haji”.(HR. Muslim).

Penutup

Setiap pendapat ijtihad ulama kategori ulama mujtahid mutlak dan mujtahid mazhab adalah pendapat yang Islami karena mereka telah melakukan istinbath hukum-hukum syara’ sesuai dengan koridornya. Maka dibolehkan bagi kita mengikuti salah satu dari pendapat para ulama.

رأيي صواب ويحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب

“Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selain ku itu salah, tapi bisa jadi benar”.

Kita selaku mukmin yang berstatus sebagai orang awam (muqallid ‘aam) diperbolehkan untuk mengikuti pendapat para ulama selama pendapat yang diikuti memiliki hujjah dalil yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kita tidak dapat menganggap bahwa pendapat kita yang paling benar dan pendapat orang lain bathil sehingga memvonis nya dengan status ahli bid’ah. Untuk itulah dalam perkara-perkara furu’iyyah fiqh sebaiknya kita saling mengormati dan menghargai bukan saling menyalahkan agar ukhwah Islam benar-benar terwujud nyata.

Lihatlah sejarah para ulama mazhab terdahulu yang mereka saling menghargai perbedaan pendapat diantara mereka. Bahkan bisa saling belajar sebagaimana Imam Ahmad bin hambal belajar kepada Imam Syafi’ie tapi pendapat mereka sering berbeda dalam beberapa perkara.

Justru yang fanatik terhadap pendapat ulama mazhab adalah para pengikutnya yang taqlid buta.

Wallahu a’lam

Oleh : Tommy Abdillah

(Founder Majelis Ilmu Ulin Nuha)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *